Mengatasi Perilaku Seks Bebas (warganegara dan negara )

Senin, 22 November 2010
Mengatasi Perilaku Seks Bebas
Beberapa saat yang lalu, salah satu media lokal menurunkan sebuah berita tentang hasil penelitian yang cukup mengagetkan, yaitu penelitian tentang perilaku seks bebas di antara generasi muda. Penelitian tersebut mengungkap perilaku seks bebas generasi yang menamakan dirinya anak baru gede alias ABG. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa ternyata di kalangan remaja bangsa Indonesia, bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, 50 persen dari 474 remaja yang dijadikan sample penelitian, ternyata mengaku telah melakukan hubungan seks tanpa nikah.
Yang lebih mengagetkan lagi karena ternyata 40 persen di antara mereka melakukan hubungan seks tersebut pertama kali justru dilakukan di rumah sendiri. Banyak komentar dan pertanyaan muncul seiring dengan terungkapnya fenomena sosial yang telah menjadi realitas sangat memprihatinkan. Ya, itulah kenyataan hidup yang harus diterima.
Dari sekian banyak pertanyaan seputar masalah perilaku remaja yang dinilai menyimpang tersebut, ada dua pertanyaan mendasar yang perlu segera dijawab, yaitu apa penyebab perilaku seks bebas tersebut, dan bagaimana cara mengatasinya? Dua hal yang tidak bisa dibiarkan menggantung, melainkan harus didapatkan jawaban sekaligus solusi atas fenomena yang tidak sepantasnya dibiarkan.
* Penyebab Perilaku Seks Bebas
Menurut beberapa penelitian, cukup banyak faktor penyebab remaja melakukan perilaku seks bebas. Salah satu di antaranya adalah akibat atau pengaruh mengonsumsi berbagai tontonan. Apa yang ABG tonton, berkorelasi secara positif dan signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film dan sinetron, baik film yang ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton di layar lebar.
Disyukuri memang karena ada kecenderungan dunia perfilman Indonesia mulai bangkit kembali, yang ditandai dengan munculnya beberapa film Indonesia yang laris di pasaran. Sebutlah misalnya, film Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, serta Virgin. Tetapi rasa syukur itu seketika sirna seiring dengan munculnya dampak yang ditimbulkan dari film tersebut. Terutama terhadap penonton usia remaja.
Menurut hemat saya, film-film yang disebutkan tadi laris di pasaran bukan karena mutu pembuatan filmnya akan tetapi lebih karena film tersebut menjual kehidupan remaja, bahkan sangat mengeksploitasi kehidupan remaja. Film tersebut diminati oleh banyak remaja ABG bukan karena mutu cinematografinya, melainkan karena alur cerita film tersebut mengangkat sisi kehidupan percintaan remaja masa kini. Film tersebut diminati remaja ABG, karena banyak mempertontonkan adegan-adegan syur dengan membawa pesan-pesan gaya pacaran yang sangat “berani”, dan secara terang-terangan melanggar norma sosial kemasyarakatan, apalagi norma agama.
Sebagai pendidik, saya sulit dan amat sulit memahami apa sesungguhnya misi yang ingin disampaikan oleh film tersebut terhadap penontonnya. Bukan saja karena tidak menggambarkan keadaan sebenarnya yang mayoritas remaja bangsa Indonesia, tetapi juga karena ia ditonton oleh anak-anak yang belum dapat memberi penilaian baik dan buruk. Mereka baru mampu mencontoh apa yang terhidang. Akibatnya, remaja mencontoh gaya pacaran yang mereka tonton di film. Akibatnya pacaran yang dibumbui dengan seks bebaspun akhirnya menjadi kebiasaan yang populer di kalangan remaja. Maka, muncullah patologi sosial seperti hasil penelitian di atas.
Hal kedua yang menjadi penyebab seks bebas di kalangan remaja adalah faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan. Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh sang anak dari keluarganya. Cukup tidaknya keteladanan yang diterima sang anak dari orangtuanya, dan lain sebagainya yang menjadi hak anak dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta di tempat-tempat yang tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan di lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh di lingkungan pergaulan bebas.
Dalam lingkungan pergaulan remaja ABG, ada istilah yang kesannya lebih mengarah kepada hal negatif ketimbang hal yang positif, yaitu istilah “Anak Gaul”. Istilah ini menjadi sebuah ikon bagi dunia remaja masa kini yang ditandai dengan nongkrong di kafe, mondar-mandir di mal, memahami istilah bokul, gaya fun, berpakaian serba sempit dan ketat kemudian memamerkan lekuk tubuh, dan mempertontonkan bagian tubuhnya yang seksi.
Sebaliknya mereka yang tidak mengetahui dan tidak tertarik dengan hal yang disebutkan tadi, akan dinilai sebagai remaja yang tidak gaul dan kampungan. Akibatnya, remaja anak gaul inilah yang biasanya menjadi korban dari pergaulan bebas, di antaranya terjebak dalam perilaku seks bebas.
Melihat fenomena ini, apa yang harus kita lakukan dalam upaya menyelamatkan generasi muda? Ada beberapa solusi, di antaranya,
1.pertama, membuat regulasi yang dapat melindungi anak-anak dari tontonan yang tidak mendidik. Perlu dibuat aturan perfilman yang memihak kepada pembinaan moral bangsa. Oleh karena itu Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) harus segera disahkan.
2.Kedua, orangtua sebagai penanggung jawab utama terhadap kemuliaan perilaku anak, harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dalam keluarganya. Kondisi rumah tangga
3.Ketiga, latihlah anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Orangtua harus membiasakan diri bernegosiasi dengan anak-anaknya tentang ekspektasi perilaku dari kedua belah pihak. Keempat, ketahuilah bahwa walaupun saran-saran di sini berkenaan dengan pengembangan harga diri, semuanya mempunyai kaitan erat dengan pengembangan intelektual. Proses belajar biasa efektif dalam lingkungan yang mengembangkan harga diri. Intinya, hanya apabila harga diri anak-anak dihargai, potensi intelektual dan kemandirian mereka dapat dikembangkan.



Cara Mengatasinya mengusulkan urutan sebagai berikut:
1. orangtua sebagai penanggung jawab utama terhadap kemuliaan perilaku anak
2. latihlah anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Orangtua harus membiasakan diri bernegosiasi dengan anak-anaknya
3. Membuat regulasi perfilman
Sumber : Das’ad Latif ; Ketua Ikatan Dai Muda Profesional Makassar
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=19232

0 komentar:

Posting Komentar