Membangun Bangsa yang Adil dan Mandiri dengan (Lebih) Peduli Kepada Kaum Difabel (Manusia dan Adil)

Minggu, 06 Maret 2011
Difabel adalah padanan istilah dari difable (different abled people) yang berarti orang dengan kemampuan yang berbeda. Istilah yang mulai populer di berbagai media ini adalah penghalusan bahasa dari istilah-istilah yang sering digunakan seperti cacat atau tuna karena istilah-istilah tersebut terkesan berkonotasi negatif dan berpandangan sempit (cakfu.info, 2006). Istilah difabel ini juga penulis anggap lebih baik digunakan karena suatu kenyataan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda (different able) dengan rencana yang berbeda-beda juga, alangkah baiknya perbedaan itu tidak ditafsirkan sebagai kesialan/kekurangan dengan istilah cacat. Istilah difable juga kerap digunakan oleh negara-negara maju untuk menggantikan istilah “cacat” yang terdahulu seperti disable (ketidakmampuan). Jumlah kaum difabel di

Indonesia menurut data World Health Organization (WHO) berjumlah 20 juta jiwa atau hampir 10% dari total populasi, yang terdiri dari tunanetra (blind),ctunawicara (dumb), tunarungu (deaf), lumpuh (paralyze), dan jenis-jenis kecacatan lain. Jumlah kaum tunanetra sendiri menurut data WHO tahun 2002 mencapai 1,5% dari total populasi, jauh lebih tinggi daripada negara-negara
berkembang lain seperti Bangladesh (1%), India (0,7%), Thailand (0,3%). Masalah kaum difabel di Indonesia khususnya tunanetra sudah merupakan masalah social yang cukup serius. Ini didasarkan oleh kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bila angka kebutaan lebih dari 1 persen maka masalah ketunanetraan menjadi masalah sosial, tidak hanya masalah bidang kesehatan saja. Masyarakat juga diperlukan peran aktifnya dalam menyelesaikan masalah yang termasuk criteria ini.

Di Indonesia, kaum difabel pada umumnya digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri, dan menyedihkan sehingga terbentuk pandangan buruk sangka dikalangan masyarakat bahwa para kaum difabel itu patut dikasihani, selalu membutuhkan perlindungan dan bantuan. Pandangan negatif tentang mereka tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan–badan amal demi menggugah hati banyak orang untuk mendermakan harta yang dimilikinya (Dodds, 1993). Hal yang serupa sangat
sering penulis jumpai di dalam masyarakat, dimana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatasnamakan kaum difabel. Citra mereka yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian dimana kaum difabel yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus menggantungkan
dirinya pada belas kasihan orang lain.

Cara mengatasinya :
1.memperhatikan kembali hak-hak mereka dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan dan keadilan sosial
2.kita harus meningkatkan kesadaran sosial kita untuk lebih peduli hak semua pengguna sarana dan prasarana umum termasuk kaum difabel.
3. mendukung terhadap peningkatan kualitas hidup kaum difabel. Sebagai contoh, di bidang pendidikan, kita harus mulai memikirkan suatu sistem pendidikan yang lebih membuka lebar kesempatan kaum difabel untuk berkarya lebih daripada masa sekarang.
4.membuka lapangan pekerja bagi penderita difabel
5. pemberian alat bantu yang kaum difabel butuhkan.

0 komentar:

Posting Komentar